Jakarta- Untuk terjaminnya kelancaran dan keefektifan Program Indonesia Pintar (PIP), dibutuhkan regulasi lex specialis atau regulasi khusus berupa Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah yang menetapkan PIP sebagai kebijakan nasional lintas sektoral sekaligus instrumen pelaksanaan hak konstitusional atas pendidikan. Regulasi ini akan menjadi payung hukum utama bagi koordinasi antara kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Kementerian Keuangan, Kementerian Sosial, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil)-Kementerian Dalam Negeri dan bank penyalur yang dalam hal ini bank-bank BUMN.
Sebagai turunan dari regulasi tersebut, pada teknis pelaksanaan, dibutuhkan peraturan bersama antar-kementerian / lembaga untuk mengatur secara teknis pembagian tugas, verifikasi data, pencairan, pelaporan, dan evaluasi program.
Dengan kerangka hukum yang terintegrasi tersebut, PIP tidak lagi hanya kebijakan afirmatif, tetapi juga sebagai jaminan yuridis atas hak dasar warga negara atas pendidikan yang adil dan akuntabel.
Demikianlah rekomendasi dari Disertasi Agus Supriyanto untuk meraih gelar doktor hukum di Universitas 17 Agustus 1945 (UTA 45) Jakarta. Disertasi bertajuk ““Implementasi Pengawasan Penyelenggaraan Program Indonesia Pintar (PIP) dalam Perspektif Kemanfaatan Hukum & Keadilan”ini dipaparkan Agus pada sidang terbuka di UTA 45, Jakarta, 5 Agustus 2025 lalu.
Penelitian pada disertasi ini menggunakan metode deskriptif analitis, yaitu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan secara akurat suatu kondisi atau fenomena hukum berdasarkan data yang dikumpulkan secara sistematis. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan gabungan antara analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Dengan kombinasi kedua metode tersebut, diharapkan penelitian ini mampu memberikan gambaran yang komprehensif mengenai kondisi objektif, permasalahan, serta peluang perbaikan dalam pelaksanaan PIP dari perspektif hukum.

Sedangkan sumber data diperoleh melalui data primer: melalui wawancara mendalam dengan pejabat Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Dinas Pendidikan, pengelola sekolah, dan siswa penerima manfaat program. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui peraturan perundang-undangan, pedoman teknis PIP, laporan hasil pengawasan, dan dokumen terkait PIP lainnya.
Tantangan yuridis
Dalam disertasinya, Agus mengakui, bahwa PIP telah melakukan beberapa perbaikan dalam mekanisme penyaluran dan penyempurnaan kriteria penerima. Namun, penyelenggaraan PIP masih menghadapi tantangan yuridis berupa ketidaktepatan regulasi teknis, lemahnya pelaksanaan pengawasan, serta kesenjangan antara norma hukum dan implementasinya.
Temuan lapangan dan pemberitaan media massa mengungkap, terdapat berbagai bentuk pelanggaran yang terjadi pada pelaksanaan PIP, antara lain manipulasi data penerima, pemotongan dana bantuan oleh oknum tertentu, keterlambatan pencairan di layanan perbankan serta praktik percaloan penerima bantuan.
Salah satu yang disorot dalam disertasi ini adalah siswa penerima PIP dari jalur aspirasi atau pemangku kepentingan, yakni rekomendasi dari anggota legislatif, tokoh masyarakat, dan pihak-pihak eksternal lainnya. Penerima PIP dari jalur pemangku kepentingan ini membuka ruang intervensi politik, penyalahgunaan kewenangan, praktek nepotisme, konflik kepentingan, dan pelanggaran prinsip keadilan distribusi serta asas nondiskriminasi dalam pelayanan publik. Dampaknya, distribusi PIP rentan manipulasi dan tidak sepenuhnya berbasis kebutuhan objektif.
Yang juga disorot dalam disertasi ini adalah, bahwa PIP belum menjangkau secara optimal kelompok masyarakat sangat rentan seperti anak-anak miskin ekstrem, penyandang disabilitas, serta mereka yang tinggal di daerah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T). Salah satu penyebabnya, sistem verifikasi masih terlalu administratif dan kurang responsif terhadap kondisi riil. Dampaknya, terjadi ketimpangan dalam pemerataan akses bantuan pendidikan.
Pelanggaran-pelanggaran tersebut tidak hanya mencerminkan ketidakefektifan implementasi teknis, tetapi juga menunjukkan adanya kelemahan dalam sistem penegakan hukum administratif dan etik publik. Minimnya sanksi terhadap pelaku pelanggaran, lemahnya pengawasan berjenjang, dan belum optimalnya partisipasi masyarakat dalam pengawasan sosial menjadi faktor penghambat utama dalam pelaksanaan PIP yang lebih akuntabel dan berkeadilan.

Solusi
Penulis disertasi ini menawarkan solusi, yakni penyusunan regulasi lex specialis perlu mempertimbangkan keterlibatan pemangku kepentingan di tingkat lokal, termasuk pejabat RT/RW, kepala desa, dan lembaga pendidikan, serta menetapkan prosedur standar operasional (SOP) yang seragam dan dapat diimplementasikan secara nasional.
Khusus untuk mengatasi manipulasi data siswa penerima PIP dari jalur aspirasi atau pemangku kepentingan, disertasi ini menawarkan solusi berupa penghapusan atau pembatasan ketat, sistem seleksi yang berbasis data terverifikasi, seperti Sipintar, DTKS, dan P3KE, serta penguatan kanal pengaduan dan audit sosial melalui kerja sama dengan lembaga pengawas seperti Ombudsman, BPK, dan KPK.
Untuk menjangkau anak-anak miskin ekstrem, penyandang disabilitas, serta murid yang tinggal di daerah 3T, disertasi ini menawarkan solusi berupa penerapan prinsip affirmative action melalui regulasi, serta penambahan verifikasi berbasis observasi lapangan, pelibatan kepala desa/lurah, serta digitalisasi usulan mandiri berbasis NIK oleh orang tua/wali siswa.