Puslapdik-Sejarah pemberian beasiswa terhadap pemuda Indonesia sudah terentang jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, bahkan sejak awal abad-20. Pemberi beasiswa tersebut, tidak hanya Belanda, namun juga Jepang, dengan motivasi yang berbeda. Belanda memberi beasiswa dengan latar belakang sebagai “politis etis”, yakni sebagai balas budi atas penjajahan di Indonesia selama 3 abad. Sedangkan beasiswa yang diberikan Jepang dilatarbelakangi oleh politik luar negeri yang ingin mewujudkan apa yang disebut “PAN ASIA”, yakni era baru di Asia Timur, persemakmuran Rakyat Asia Merdeka.
Disadur dari laman historia.id, Kampanye PAN ASIA tersebut diawali dengan kemenangan Jepang atas Rusia dalam perang Tsushima tahun 1904-1905. Jepang mengundang para pemuda Indonesia untuk belajar di Jepang dengan biaya murah, bahkan disubsidi sepenuhnya. Sejumlah tokoh nasionalis Indonesia mendorong para pemuda Indonesia untuk mengalihkan perhatiannya dalam pendidikan, dari Belanda ke Jepang. Saat itu, sudah banyak pemuda Indonesia yang kuliah di Belanda melalui jalur beasiswa yang diselenggarakan berbagai organisasi yang didukung pemerintah Hinda Belanda.
Ada dua gelombang keberangkatan pelajar-pelajar Indonesia ke Negeri Matahari Terbit itu. Sebelum 1943, para mahasiswa itu memilih ke Jepang karena orangtua mereka tak sanggup membiayai pendidikan tinggi di Belanda.
Lalu pada 1943, pemerintah militer Jepang di Indonesia membuat program khusus mengirimkan pemuda Indonesia belajar di negaranya. Mereka adalah peserta program Nampo Tokubetsu Ryugakusei (Mahasiswa Luar Biasa dari Daerah Selatan). Program ini diberikan kepada pemuda negara di Asia Tenggara yang diduduki Jepang, termasuk juga dari Indonesia, Malaysia, dan Burma.

Kisah para pelajar itu diceritakan oleh para alumni dalam buku “Suka Duka Pelajar Indonesia di Jepang Sekitar Perang Pasifik 1942-1945”. Tercatat antara lain Madjid Usman dan Mahjuddin Gaus dari Minangkabau yang memperoleh beasiswa tahun 1932. Bila Usman kuliah ilmu Hukum di Universitas Meiji, maka Gaus belajar kedokteran di Universitas Jikei. Keduanya memperoleh beasiswa dari pemerintah Jepang melalui Menteri Luar Negeri Jepang saat itu, Uchida Koya. Gaus diketahui menjadi satu-satunya pemuda dari Indonesia yang saat itu merampungkan pendidikan hingga jenjang doktor sebelum tahun 1945.
Baca juga :
- Sejarah Pemberian Beasiswa di Indonesia : Masa Sebelum Kemerdekaan
- Mahasiswa Penerima Beasiswa Unggulan Harus Kenal dan Paham Wawasan Kebangsaan
Jadi alat propaganda Jepang
Namun, harus diakui, para pemuda Indonesia yang memperoleh beasiswa ke Jepang itu akhirnya dimanfaatkan menjadi alat propaganda Jepang melawan Hindia Belanda. Salah satunya adalah Muhamad Djuli asal Batu Sangkar, Sumatera Barat, yang belajar pembuatan keramik di Kota Seto, Propinsi Aichi, Jepang. Ia Diminta menjadi penyiar radio pada tahun 1941-1942 untuk menyerukan kepada rakyat Hindia Belanda bahwa Jepang adalah bangsa pembebas.
Walaupun begitu, tak sedikit pelajar Indonesia di Jepang yang mendapat beasiswa tetap berpikir kritis. Salah satunya yakni Oemarjadi Njotowijono yang mendapat beasiswa ilmu bisnis di Universitas Hitotsubashi. Oemarjadi yang memimpin Syarikat Indonesia di Jepang menuduh Jepang tak ada bedanya dengan Hindia Belanda.
Beasiswa terhenti oleh perang dunia ke-2
Perang Dunia kedua, tahun 1944, membuat banyak universitas tutup dan otomatis pelajar Indonesia yang memperoleh beasiswa juga terhenti kuliahnya. Namun, menurut Hassan Shadily, pelajar asal Pamekasan, Madura,yang kuliah di Universitas Kyoto, banyak pelajar Indonesia yang enggan balik ke Indonesia sebelum meraih gelar. Hal senada juga dikatakan Sudibjo Tjokronolo. Ia mengatakan, banyak pelajar di Indonesia terlanjur nyaman kuliah di Jepang dan menganggap nasionalisme Jepang layak dicontoh.

Namun, sejarawan Jepang, Aiko Kurasawa, mengatakan, sebagian besar pelajar ingin kembali ke Indonesia, apalagi setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan. Tahun 1947, para pelajar itu berhasil kembali ke Indonesia dan menyumbangkan pemikirannya untuk pemerintah Indonesia, dan sebagian masuk menjadi anggota TNI.
Pelajar Indonesia yang bertahan di Jepang, menurut Aiko Kurasawa, menamatkan pendidikannya dan kembali ke Indonesia sekitar tahun 1950 an. Gelar kesarjanaan yang mereka punyai disambut positif oleh pemerintahan Soekarno. Mereka banyak yang ditempatkan di posisi strategis di pemerintahan. Contohnya Oemarjadi yang jadi duta besar Indonesia untuk Swiss dan pernah jadi sekjen ASEAN .
Menurut catatan Persada, yakni perkumpulan alumni pelajar Indonesia di Jepang, seperti yang dikutip dari buku “Suka Duka Pelajar Indonesia di Jepang”, jumlah mahasiswa Indonesia di Jepang sebelum perang dan selama tahun 1942-1945 mencapai kira-kira 95 orang.
Sumber : https://historia.id/