Jakarta– Menjadi guru di daerah pedalaman tidaklah mudah. Banyak kendala. Baik dalam hal budaya, kebiasaan, geografis, dan sebagainya. Salah satu guru yang mengalami kendala itu adalah Diana Cristiana Da Costa Ati (28 th). Wanita kelahiran Atambua, Nusa Tenggara Timur (NTT) ini, sejak tahun 2018 lalu mengikuti Program Guru Penggerak Daerah Terpencil tahun 2018, sebuah program inisiasi Bupati Mappi periode 2017-2022, Kristosimus Yohanes Agawemu, bekerja sama dengan Gugus Tugas Papua, Universitas Gadjah Mada (UGM).
Awalnya, Diana ditempatkan di Kampung Kaibusene, Distrik Haju, Kabupaten Mappi, Propinsi Papua (Kini menjadi Propinsi Papua Selatan). Tahun 2021, Diana menandatangani kontrak baru sebagai guru di Sekolah Dasar Negeri Atti, Kampung Atti, Distrik Minyamur, Kabupaten Mappi, Papua Selatan. Kabupaten Mappi merupakan salah satu daerah khusus atau daerah 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal) sesuai Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 160/P/2021 tentang Daerah Khusus Berdasarkan Kondisi Geografis.
Tahun 2023 lalu, Sarjana pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN) di Universitas Cendana, Kupang, NTT, ini, memperoleh Tunjangan Profesi Guru (TPG), dan karena menjadi guru di daerah khusus, pada tahun yang sama, Diana juga memperoleh Tunjangan Khusus Guru (TKG).
“Saya pikir, saya berhak dan layak mendapatkan TPG dan juga TKG karena saya betul-betul mengabdi di pedalaman dengan kondisi geografis yang sulit dan budaya masyarakat yang masih belum kondusif untuk mendukung proses pembelajaran, “ katanya melalui whatsapp beberapa waktu lalu.
Baca juga : Berkah di Merauke, Yustina Nona Beda Memeroleh TPG dan TKG

9 Jam dari Merauke
SD Negeri Atti sendiri berada di tengah ladang, di selang- seling hutan, rawa-rawa dan perairan, berjarak sekitar 1 km dari pemukiman kampung Atti. Dari Ibukota Propinsi Papua Selatan, Merauke, untuk menuju SDN Atti butuh waktu perjalanan sekitar 9 jam. Dari Merauke ke Ibukota Kabupaten Mappi, yakni Kepi di Distrik Obaa, naik pesawat ATR sekitar 1 jam. Dari Kepi, perjalanan melalui darat sekitar 2 jam menuju pelabuhan Agham. Perjalanan berikutnya menggunakan perahu Ketinting menelusuri sungai Mappi menuju Kampung Khaumi di Kampung Atti sekitar 4 jam. Dari Kampung Atti, tidak ada transportasi yang dapat digunakan, sehingga harus berjalan kaki sekitar 2 jam hingga sampai di SDN Atti.
Perjalanan bisa lebih panjang sekitar 23 jam bila dilakukan melalui darat, yakni dari Merauke ke Asike di Kabupaten Boven Digoel selama 8 jam, lantas dilanjutkan menggunakan speed boat ke Kepi selama 7 jam. Dari Kepi, perjalanan melalui darat sekitar 2 jam menuju pelabuhan Agham. Selanjutnya menggunakan perahu ketinting menelusuri sungai menuju Kampung Khaumi di Kampung Atti sekitar 4 jam. Dari Kampung Atti, berjalan kaki sekitar 2 jam hingga sampai di SDN Atti.
“Saya dan guru-guru lain tinggal di mess sekolah, masih di lingkungan sekolah, “kata Diana.
Baca juga : Chorlance, Gadis Papua Jadi Dokter Melalui Beasiswa ADik

Kurikulum kontekstual
Setelah 7 tahun menjalani profesi guru di Kabupaten Mappi, Diana menceritakan, masyarakat di Kabupaten Mappi, utamanya di Distrik Haju dan Distrik Minyamur, 90 persen lulusan SD. Bahkan walaupun lulusan SD, kemampuan membaca, menulis dan berhitungnya sangat minimalis.
“Saat pertama kali mengajar tahun 2018 di Haju dan tahun 2021 di Minyamur, siswa kelas 5 dan kelas 6 saja belum bisa membaca, apalagi menulis dan berhitung, sekarang juga masih ada, walau sudah sedikit berkurang, “katanya.
Menurutnya, masyarakat di Mappi berpikir sangat sederhana, yakni yang penting bisa mencari makan, tanpa harus sekolah. “Untuk makan pun, tidak harus bekerja dengan berkebun atau berladang, tetapi bisa mencari di hutan, “kata Diana.
Selain budaya pendidikan yang rendah, kendala pendidikan di pedalaman Papua adalah kondisi geografis. Di SDN Atti yang jumlah siswanya sebanyak 86 orang, sebagian besar bertempat tinggal yang jauh dari sekolah, bahkan saat ini ada 6 siswa yang masih tinggal di hutan dan butuh perjalanan 2 jam lebih untuk sampai di sekolah.
Begitu pula dengan fasilitas sekolah. Ketika Diana pertama kali datang tahun 2021 di SDN Atti, , jangan berharap melihat siswa berseragam merah putih dan belajar di bangku dan kursi seperti halnya di Jawa atau di tempat lain. Sebagian besar siswa menggunakan pakaian sehari-hari yang sekaligus digunakan untuk main, tanpa sepatu. Saat ini, sebagian siswa sudah berseragam putih-merah dan belajar di kursi dan bangku, walaupun belum sepenuhnya.
“Ada cerita, siswa berangkat ke sekolah dengan baju main dan ganti pake seragam di sekolah karena rumahnya sangat jauh di hutan, butuh perjalanan 2 jam melewati hutan dan rawa, “katanya.
Berdasarkan kondisi budaya dan geografis tersebut, Kurikulum Merdeka yang ditetapkan pemerintah dikembangkan Diana dan teman-temannya sesama guru dengan muatan lokal melalui kurikulum kontektsual.
“Metode pembelajaran dilakukan dengan pendekatan sosial, yakni melakukan sosialisasi ke orang tua, materi pembelajaran disesuaikan dengan budaya dan kebiasaan mereka, jadi kita mengubah pola pikir mereka dulu, “jelasnya.
Proses pembelajaran di kelas pun berbeda dengan sekolah-sekolah di luar Papua, apalagi di Jawa. Jumlah guru di SDN Atti hanya berjumlah 3 orang dengan tenaga kependidikan 5 orang. Tidak ada guru mata pelajaran, tetapi guru mengampu semua mata pelajaran.Diana sendiri mengampu kelas 5 dan kelas 6. Sedangkan jumlah siswa keseluruhan, dari kelas 1 sampai kelas 6 berjumlah 86 orang.
Diana bersyukur, tahun 2023 lalu, jaringan internet sudah masuk sehingga para guru bisa mengupdate cara belajar melalui Youtube, dan disesuaikan dengan kondisi di daerah pedalaman.
Baca juga :Yohanes Ryaldy Wanma: Dari ADEM dan ADik Menuju Florida

TPG dan TKG untuk membantu murid
Dengan dana TPG dan TKG yang diterima, Diana memanfaatkannya untuk membantu murid dalam mendapatkan buku, perlengkapan sekolah, dan seragam. Menurutnya, Buku, perlengkapan sekolah adalah kebutuhan utama siswa di Pedalaman Papua. Diana mengaku agak sulit memanfaatkan TPG dan TKG untuk peningkatan kompetensi, seperti mengikuti pelatihan, seminar atau pendidikan lanjutan lainnya.
“Saya belum pernah, karena transportasinya mahal dan aksesnya sulit serta jauh, “jawabnya singkat
Diana berharap pemerintah, melalui menteri pendidikan, datang berkunjung ke Papua, melihat kondisi real yang ada di Papua.
“Kurikulum yang ditetapkan pemerintah saat ini tidak kontekstual dengan siswa di pedalaman Papua dengan sistem administrasi dimana guru di sini sulit menyesuaikan, ditambah kurangnya tenaga pendidik dan minimnya kesejahteraan guru, “ Katanya.