Jakarta– Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) meluncurkan Gerakan 1.000 APS SMK Berdaya Lewat Program Pendidikan Kecakapan Kerja (PKK) dan Pendidikan Kecakapan Wirausaha (PKW). Dengan tajuk “Kembali Berdaya, Kembali Bermakna”, program ini merupakan kolaborasi Kemendikdasmen, pemerintah daerah, serta lembaga kursus dan pelatihan (LKP) yang ada di seluruh Indonesia untuk memberikan keterampilan kerja dan berwirausaha bagi anak putus sekolah jenjang SMK.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti, menyatakan, setiap anak berhak mendapatkan pendidikan bermutu, termasuk mereka yang putus sekolah karena berbagai sebab.
“Langkah ini menjadi komitmen kami untuk mengaktifkan kembali pendidikan nonformal. Karena saat ini, yang dituntut adalah kompetensi keahlian tidak hanya ijazah. Program ini memberikan peluang lebih besar untuk anak putus sekolah dapat bersaing di dunia kerja maupun merintis usaha dan membuka lapangan pekerjaan,” kata Menteri Abdul Mu’ti pada peluncuran gerakan tersebut di Jakarta, Senin, 30 Juni 2025.
Lebih lanjut, Abdul Mu’ti menyampaikan bahwa program ini sekaligus menjadi cara solutif untuk mengurangi angka pengangguran dan jumlah anak putus sekolah, khususnya dari SMK.
“Program PKK dan PKW juga bentuk partisipasi semesta dalam memastikan bahwa pendidikan benar-benar hadir untuk semua dan setiap anak Indonesia memiliki ruang untuk kembali berdaya dan kembali bermakna,” pesan Menteri Abdul Mu’ti.
Upaya Kolaborasi Bersama
Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kemendikdasmen, Tatang Muttaqin, menuturkan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), lebih dari 4 juta anak usia sekolah termasuk dalam persentase APS.
”Dari data tersebut sebanyak 9.391 atau setara 0,19 persen merupakan peserta didik SMK secara nasional dan ini merupakan angka tertinggi dibandingkan dengan jenjang pendidikan lainnya, yakni di jenjang SD sebesar 0,16%, di jenjang SMA sebesar 0,13%, dan di jenjang SMP sebesar 0,12%, ” ujar Tatang.
Dijelaskan Tatang, kegiatan PKK dan PKT tersebut merupakan bagian dari program vokasional dan praktikal yang dapat langsung diterapkan dalam dunia usaha dan dunia industri (DUDI).
“APS dari SMK yang ikut kegiatan ini akan mendapatkan pelatihan-pelatihan keterampilan vokasional yang relevan dengan kebutuhan DUDI secara intensif selama satu sampai dua bulan sebagai bekal mereka untuk terjun ke dunia usaha maupun dunia industri,” terang Tatang.

Sebagai program kolaborasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan LKP, program ini, lanjut Tatang, program ini akan diselenggarakan di 33 provinsi dengan melibatkan 245 LKP. Tak hanya berfokus di kota-kota besar, program ini pun akan menyasar wilayah-wilayah yang membutuhkan perhatian lebih, termasuk daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Pemerintah daerah bertugas menyiapkan data APS SMK yang kemudian akan diberikan pelatihan kerja maupun wirausaha di LKP-LKP terpilih yang telah berpengalaman dalam penyelenggara program PKK dan PKW dan memiliki kerja sama yang kuat dengan mitra DUDI untuk penyerapan lulusan, termasuk UMKM, lembaga permodalan, dan platform digital untuk membantu pemasaran dan pengembangan usaha lulusannya.
“Jadi, selesai program, untuk yang memilih PKK, APS SMK ini dapat langsung bekerja maksimal satu tahun setelah selesai program karena LKP penyelenggara telah bekerja sama dengan DUDI dan peserta juga sudah mengikuti uji kompetensi dan memiliki sertifikat kompetensi. Sementara untuk peserta PKW, mereka bisa langsung membuka usaha karena selain ada pendampingan usaha, peserta juga diberikan bantuan modal usaha. Misalnya, untuk membeli bahan baku dan sebagainya,” terang Tatang.
Penyebab APS
Dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi X DPR RI bulan Maret lalu, Kepala Pusat Data dan Informasi Kemendikdasmen, Yudhistira Nugraha, mengatakan, faktor penyebab siswa putus sekolah berbeda di setiap jenjang pendidikan. Di jenjang SD, faktor ekonomi keluarga dan keterbatasan akses pendidikan menjadi kendala utama.
Sementara itu, di jenjang SMP dan SMA masalah sosial dan kurangnya motivasi siswa sering berkontribusi terhadap siswa putus sekolah.
Sedangkan di wilayah 3T, lanjut Yudhistira, penyebabnya lebih bervariasi, di antaranya, faktor keterbatasan akses terhadap pendidikan, ekonomi keluarga, kurangnya fasilitas pendidikan, dan rendahnya kesadaran akan pentingnya pendidikan.
“Selain itu, terdapat faktor sosial dan budaya seperti norma yang mengutamakan bekerja sejak dini dibandingkan sekolah. Ditambah, jarak sekolah yang jauh dan kendala transportasi kerap mendorong siswa untuk putus sekolah, “ujarnya.